Thursday, August 2, 2007

Apa maunya blog ini

Ketika ide pemberlakuan larangan merokok di tempat umum diperkenalkan di Jakarta, tidak banyak mengalami hambatan. Berjalan lancar hingga menjadi peraturan daerah.

Barangkali faktor yang paling besar pengaruhnya adalah kesadaran masyarakat, yang tumbuh juga di kalangan para perokoknya sendiri. Kesadaran itu muncul perlahan karena adanya sosialisasi yang berlangsung bertahun-tahun, bukan hanya oleh pemerintah, tapi justru porsi terbesar oleh media massa dan film. Secara global.

Bahaya emisi CO2 dan racun lainnya dari asap kendaraan bermotor juga sudah mulai tersosialisasi. Jika dulu kita terheran melihat bule memakai masker di jalan-jalan Jakarta, kini polisi lalulintas pun sudah memakainya. Peranan global disini juga lebih besar dan lebih terencana dibanding lokal.

Kampanye "Hari tanpa mobil" sudah enam kali setahun, tapi belum banyak mendapat dukungan berarti dari media massa. Infotainment politik lebih menguntungkan daripada eksposisi dalam Seminar Nasional BMG kemarin bahwa tingkat polusi Jakarta sudah mencapai 400 µg/m (batas normal 260 µg/m3), yang merupakan hasil pemantauan polusi di lima titik Jakarta —Ancol, Bandengan, BMG Pusat, Glodok, Monas. Sedangkan rata-rata di Indonesia hanya 230 µg/m3

Menurut data tahun 2005, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta 4.863.729 unit terdiri dari bus 6%, truk 9%, mobil 30%, dan sepeda motor 54%. Penjualan mobil tahun ini akan mencapai 400ribu unit, sepeda motor 5 juta unit yang dianggap sebagai indikator ekonomi yang bagus.
Padahal 80% polusi udara diakibatkan oleh kendaraan bermotor. Kualitas udara Jakarta berada di urutan ke delapan terburuk di dunia, atau ke tiga di dunia jika dikelompokkan dalam kota-kota berpopulasi di atas 10juta orang.

Jika Asian Development Bank 1998 menghitung kerugian akibat pencemaran udara —hanya di sektor kesehatan— mencapai Rp 3,5 triliun per tahun, dan akan menjadi Rp 8,5 triliun pada 2015, itulah sebagian biaya untuk kenaikan indikator ekonomi. Bogota yang hanya di urutan 15 di kelompok populasi 5-10juta orang, pada tahun 2000 meluncurkan Bogota Project dengan sasaran car-free pada 2015. Bagaimana dengan Jakarta?

Jika punya strategi, ajaklah warganya untuk memahami dan mendukung program itu dengan sosialisasi yang dikemas oleh para pakar marketing dan periklanan secara sistematis. Masa sih mengajak orang membeli sepotong sabun jauh lebih persuasif daripada mengajak untuk mencoblos?

Blog ini bukan mau menunjukkan sikap anti-mobil. Hanya ingin menunjukkan salah satu solusi yang dipilih oleh kota-kota di dunia untuk mengatasi kemacetan dan mengurangi emisi gas beracun. Bukan dengan menghilangkan atau mengurangi mobil, melainkan dengan mengurangi penggunaannya di jam-jam sibuk, memperluas zona-zona pedestrian —car-free zone— yang dirancang terintegrasi dengan bike-path dan pusat-pusat urban. Hanya sebagai jendela untuk sekali-sekali menengok ke luar.

Sekaligus juga ikut memberi informasi sedapatnya tentang apa yang dilakukan di Jakarta dalam bidang ini. Mudah-mudahan bisa membantu sosialisasi dan mendorong munculnya inspirasi baru untuk solusi yang tepat bagi Jakarta.

No comments: